[BUKU HARIAN: HALAMAN KESEPULUH]

Ibu bilang, anak majikannya butuh seseorang untuk menuntunnya beradaptasi di SMU Gyeonghan. Ini kali pertama saya mendengar nama sekolah tersebut. Ibu terlihat tidak rela, sementara saya kepalang bahagia. Ucapnya, sang majikan rela membiayai pendidikan saya hingga lulus.

[BUKU HARIAN: HALAMAN KESEBELAS]

Satu informasi yang saya terima hari ini: Ada sistem asrama di Gyeonghan. Kabar bagus?

[BUKU HARIAN: HALAMAN KEDUA BELAS]

Menjajaki Gyeonghan terasa seperti lepas dari sangkar. Saya lahir kembali dengan persona baru. Belajar keras, membangun relasi, juga menyibukkan diri dengan kegiatan non akademisi.

… tapi mengapa?

Mengapa segigih apapun saya berusaha—saya /tetap/ gagal juga tumbang?

Mengapa semua hal yang saya perjuangkan terus mengitari kata ‘hampir’? [BUKU HARIAN: HALAMAN KESEMBILAN] Saya punya banyak ketakutan.

Ketakutan saya yang pertama adalah menjadi manusia yang bebal dan melaut benci. Lalu, gagal menjadi ‘gagah’ adalah ketakutan saya selanjutnya. Tapi akhir-akhir ini, ketakutan saya yang kedua jelas lebih mengepalai.

[BUKU HARIAN: HALAMAN PERTAMA] Ibu menghadiahi saya buku harian ini tadi pagi. Ibu bilang, beliau tidak ingin saya kehabisan tempat. Ibu bilang, beliau tidak mau bumi berubah menjadi satu persemayaman yang menyesakkan bagi saya hanya karena alasan tersemat.

Maka,

Shim Taeryung. Ansan, 25 Oktober 2005. Putra dari Shim Bajingan (ia tidak pantas punya nama.) dan Shimazu Aika.

Mulai hari ini, saya akan menulis.

[BUKU HARIAN: HALAMAN KEDUA] Yang saya tahu, pernikahan Ibu tidak mendapat restu. Sehingga beliau diangkut Shim Bajingan (selain tidak pantas punya nama, ia juga tidak pantas menjadi kepala keluarga.) dari Jepang ke Korea begitu saja setelah menikah. Konyol, karena Shim Bajingan itu ternyata memanipulasi Ibu. Ia tidak punya kegiatan lain selain bercumbu dengan alkohol dan merayu jalang-jalang pinggiran.

Ah, sebentar. Ada suara ketukan.

[BUKU HARIAN: HALAMAN KETIGA]

Konyol, tidak, kalau saya berharap kepada rembulan?

Saya menulis paragraf ini dalam posisi bertelengkup di atas rumput-rumput. Di sini sudah larut. Saya ditemani burung hantu dan angin yang bersilir-silir seolah menuntut saya untuk tetap tinggal barang sekadar melenyapkan kalut.

Tempo hari, rumah reyot kami yang malang didatangi penagih tunggakan. Saya tahu Ibu pasti lah berhutang ke sana kemari untuk biaya kami sehari-hari. Bayarannya sebagai asisten rumah tangga jelas tidak otomatis mencukupi. Saya bersikeras untuk berhenti bersekolah dan mencari pekerjaan pula untuk menyeimbangi. Namun keras kepala saya sama dengan keras kepalanya Ibu. Saya hanya iri dengan mereka yang hidup raganya direstui alam raya.

[BUKU HARIAN: HALAMAN KEEMPAT]

Saya berharap Ibu tidak bertingkah bodoh dan menikahi Shim Bajingan kala itu.

[BUKU HARIAN: HALAMAN KELIMA]

Saya berharap Ibu bukan perempuan bodoh.

[BUKU HARIAN: HALAMAN KEENAM]

Saya berharap meledaknya saya kemarin tidak melukai hati Ibu.

[BUKU HARIAN: HALAMAN KETUJUH]

Saya membuat Ibu menangis.

[BUKU HARIAN: HALAMAN KEDELAPAN]

Lagi.

[BUKU HARIAN: HALAMAN KESEPULUH]

Ibu bilang, anak majikannya butuh seseorang untuk menuntunnya beradaptasi di SMU Gyeonghan. Ini kali pertama saya mendengar nama sekolah tersebut. Ibu terlihat tidak rela, sementara saya kepalang bahagia. Ucapnya, sang majikan rela membiayai pendidikan saya hingga lulus.

[BUKU HARIAN: HALAMAN KESEBELAS]

Satu informasi yang saya terima hari ini: Ada sistem asrama di Gyeonghan. Kabar bagus?

[BUKU HARIAN: HALAMAN KEDUA BELAS]

Menjajaki Gyeonghan terasa seperti lepas dari sangkar. Saya lahir kembali dengan persona baru. Belajar keras, membangun relasi, juga menyibukkan diri dengan kegiatan non akademisi.

… tapi mengapa?

Mengapa segigih apapun saya berusaha—saya /tetap/ gagal juga tumbang?

Mengapa semua hal yang saya perjuangkan terus mengitari kata ‘hampir’?

(Terinspirasi dari lagu Bertaut yang dinyanyikan Nadin Amizah.)

sep 20 2020 ∞
sep 20 2020 +