Kipas angin siang itu membunyikan deritnya lebih jelas dari saat pagi tadi dinyalakan. Gerakannya dari kanan ke kiri membuat Dia mengejapkan matanya berkali-kali, berusaha supaya tidak terhipnotis dan jatuh terlelap. Udara panas di luar villa mau tak mau membuatnya bertahan di kamar ini, dan mendengarkan derit kipas angin usang yang berusaha membuatnya tidur. Dia tidak boleh tidur. Sebentar lagi acaranya dimulai.

Ketika pertahanannya mulai goyah, berpikir, 'oke, lima belas menit aja' dan mulai memejamkan mata, namun urung karena suara berisik yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. Suara Eva.

"DIA! BANGUN DIA! ADA TUKANG ES POTONG"

"Eh.. mau juga dong" Cece yang sedari tadi membaringkan tubuhnya di kasur tempat Dia tidur segera beranjak bangun dan mencari-cari dompetnya di dalam tas.

"Ayo keburu abangnya cabut!"

"Duluan aja Va, pesanin tiga, nanti aku nyusul" jawab Dia yang akhirnya bangun. Memang mungkin ia tidak ditakdirkan untuk tidur siang ini. Ada bagusnya juga Eva membangunkannya secara spontan seperti tadi. "Pakai uangku dulu aja, Ce. Yuk, keburu abangnya pergi"

Cece menyerah mencari-cari dompetnya di dalam tasnya yang penuh baju dan segera menyusul Dia. Eva sudah berada di samping sepeda tukang es potong bersama lima orang lain yang sedang mengantri. Ia melambai-lambaikan tangan dengan tidak sabar ke arah Dia dan Cece. Memang pas sekali tukang es potong ini lewat di villa tempat malam keakraban murid-murid SMA kelas satu ini berlangsung. Udara panas saat ini membuat dagangannya laris manis.

"Bang, bayar pakai Uvu bisa nggak, bang?" tanya salah satu anak laki-laki berbaju hitam yang sedang mengantri. Dia memang belum mengenal semua murid seangkatannya, baru Eva dan Cece yang menjadi teman dekatnya.

Si tukang es potong hanya tersenyum miris. "pakai duit aja atuh, A" sambil menyerahkan tiga potong es kepada tiga orang lainnya yang mengantri, menyisakan tinggal kami berlima di sini.

"Yeee, si Abang. Uvu juga duit bang, cuma bentuknya elektronik. Jadi nanti Abang tinggal siapin barc....hmmph" Ucapannya tidak selesai karena dipotong oleh temannya yang lain dengan menutup mulutnya yang sedang bicara. Laki-laki berbaju abu-abu.

"Lo mending diam daripada kita nggak dilayanin"

"Ampun bang, saya mau cokelat satu, kacang ijo satu" kata laki-laki berbaju hitam mengalah.

'Wah.. es potong cokelat...' Dia memang selalu suka apapun yang rasa cokelat. Entah itu roti, selai, minuman, makanan, asal cokelat, Dia pasti suka. Dia menjinjit-jinjitkan kaki dengan semangat. Rasa kantuknya hilang sudah.

"Punten, A, tapi ini tinggal yang rasa cokelat"

'Ah... betapa beruntungnya aku' Pikir Dia.

"Gimana, bro? Lo cokelat aja?" Tanya laki-laki berbaju hitam kepada temannya.

"Ya udah nggak apa-apa, cokelat dua ya, Bang!"

Si tukang es potong kemudian mengeluarkan sepotong es cokelat panjang, memotongnya jadi dua dan membuka bungkusnya. Lalu ia menusukkan stik ke masing-masing es potong.

"Bang, pesan yang cokelat tiga, ya!" kata Eva sebelum tukang es potong menyerahkan es potongnya ke kedua anak laki-laki itu.

Si tukang es potong melongok ke dalam kotak tempat ia menyimpan es potongnya dan tersenyum memelas "Yah, maaf Teh, udah habis..."

Dia langsung lemas. Hilang sudah hasratnya. Dia jadi mengutuk Eva yang sudah membangunkan tidurnya yang baru saja mau ia mulai sepuluh menit yang lalu. "Yah.. si Abang" ucapnya.

"Maaf ya, Teh" ucap si tukang es potong lagi dan menyerahkan dua es potong tersebut ke kedua laki-laki yang mengantri tadi.

Eva dan Cece membalikkan badan dan merangkul Dia. "Sabar, sabar, kita tunggu tukang es potong yang lain" ucap Eva. Cece hanya mengangguk-angguk dan menggandeng tangan Dia untuk mengajaknya pergi dari situ.

"Eh, sorry.." laki-laki berbaju abu-abu tadi menghampiri Dia, Eva dan Cece setelah beberapa langkah mereka meninggalkan tempat es potong. "ini buat lo aja" ia menyerahkan es potongnya pada Cece.

"Hah? Nggak apa-apa nih? Tapi aku nggak ada duit cash.." jawab Cece.

"Udah ambil aja" kata si laki-laki baju abu-abu sambil tersenyum.

"Ini buat lo deh, jadi nggak enak gue, hehe" kata laki-laki baju hitam, menyerahkan es potongnya....ke Eva.

"Yah, kalian jadi nggak makan es potongnya dong?"

"Nggak apa-apa, kayaknya kalian udah ngiler daritadi, hehe" si baju hitam kemudian berbalik menyusul temannya yang sudah lebih dulu pergi.

"MAKASIH YA!" teriak Eva. "Eh, kita nggak apa-apa nih nerima gini?" tanya Eva pada Cece.

"Ya gimana? Mereka yang ngasih?" kata Cece. Kemudian memasukkan es potongnya ke dalam mulutnya.

"Iya sih, hehe.. rezeki anak solehah" timpal Eva riang, lalu ikut memakan es potongnya.

Dia tertegun. 'Aku ini hantu atau apa?' pikirnya. Dia berjalan mengikuti Eva dan Cece kembali ke dalam villa, tetapi pikirannya masih mencerna apa yang barusan terjadi. Dia memikirkan apa yang harus ia lakukan. Ia berpikir untuk menghampiri Eva dan Cece lalu berteriak "Hei! Harusnya nggak begini! Harusnya kalian tolak dong? Kalian nggak mikirin aku?", atau ia berlari mengejar dua laki-laki tadi dan gantian meneriaki mereka "Harusnya kalian aja yang makan! Kan kalian yang beli? Nggak mikir perbuatan kalian bisa bikin aku jadi nggak akrab sama mereka? Dasar nggak bertanggung jawab! Sok pahlawan!" atau kembali ke tukang es potong dan memilih untuk menyalahkannya "Sebelum jualan, dicek dulu dong? Jumlah barangnya pas sama orang yang lagi ngantri atau nggak? Udah bikin orang ngantri tapi ternyata barangnya habis, niat jualan nggak sih?"

"Di, jangan melamun, hati-hati kesandung" ucap Eva, sambil menjilat-jilat es potongnya.

Dia menatap nanar ke arahnya. Kemudian ia menghembuskan nafas dengan amat sangat pelan, lalu tersenyum. "Oh iya, hehe".

Setelah itu, ketua Osis mengumumkan pada seluruh murid untuk segera bersiap berkumpul di lapangan untuk melaksanakan acara selanjutnya. Mereka bertiga masuk ke kamar untuk menyiapkan barang-barang apa saja yang harus dibawa serta ke lapangan.

Dia membuka tasnya, mengeluarkan isinya satu-persatu untuk mencari 'nametag'-nya sambil berpikir untuk berkenalan dengan sebanyak-banyaknya teman setelah ini.

apr 18 2021 ∞
apr 18 2021 +