Hidup sebagai anak kedua dari tiga bersaudara tidak pernah mudah, dan Aryawira Dewangga dapat membuktikan pernyataan tersebut melalui kisahnya.

Terlahir dalam keluarga yang serba berkecukupan seharusnya bukanlah sebuah masalah. Tumbuh-kembang Wira—nama panggilan—terjaga dengan baik. Kehidupan akademis si putra kedua kurang lebih sama seperti sang kakak, Angkara Dewanata. Meski umur terpaut empat tahun, sang ayah selalu mendaftarkan ke sekolah yang sama, dan Wira tidak pernah menolak maupun membantah.

Aryawira Dewangga akan selalu patuh. Mungkin akan terus seperti itu.

Angkara, sosok terkuat pertama yang pernah dikenalnya (selain ayah). Wira hidup di balik bayang sang kakak, selalu satu tangga di belakang yang tertua. Namun, dia tidak sekalipun mengeluh. Tidak sekalipun ia mengharapkan “adil” manakala kakaknya mendapatkan “lebih” dari orang tua mereka. Sebab, Angkara-lah yang membuatnya seperti itu. Angkara-lah yang terus menemani. Angkara-lah yang terus menyemangati. Saat Wira diserang secara verbal oleh teman-teman di Sekolah Dasar, Angkara jugalah yang berdiri sebagai ganti dirinya yang tengah merengkuh ketakutan.

Setelah Angkara, hadirlah anggota terakhir di keluarga, Raka Dewara. Lagi, Wira harus melakukan kewajiban sebagai seorang kakak yang baik, yaitu mengalah kepada sang adik. Apapun yang diinginkan sang adik harus dipenuhi. Jarak umur Angkara dan Raka terpaut 10 tahun, maka Wira-lah yang menjadi penengah. Mungkin untuk alasan yang satu itu jualah keduanya menjadi dekat. Raka selalu dan selalu mencari-cari Wira, selalu dan selalu ingin mendekat kepada Wira, selalu dan selalu menginginkan apa yang Wira juga inginkan. Tentu, anak ketiga-lah yang keinginannya terkabul. Sementara anak kedua hanya diam.

“Wira, mengalah pada adikmu. Besok kami berikan yang lain.”

Aryawira Dewangga akan selalu patuh. Mungkin akan terus seperti itu.

Dari ceritanya, ia belajar bagaimana bersikap adil. “Adil” yang menurutnya benar, yang menurut keluarganya sesuai. Pernyataan meminta, memohon, menawar tidak pernah sekalipun lolos dari labianya. Selama 18 tahun hidupnya, hanya satu yang ia minta, “Mas mau kuliah di UI.”

Ada alasan tersendiri mengapa seorang Wira memutuskan untuk mengutarakan permintaan; sederhana, dia tidak sanggup mengikuti jejak Angkara. Angkara akan menuai semua yang telah ayah mereka tanam baik-baik, maka ini waktunya bagi Wira untuk menggambar garis hidupnya sendiri.

Lulus dengan predikat magna cum laude dari jurusan Sastra Inggris UI menjadi penanda bahwa sang anak kedua telah berhasil menyelesaikan garis pertama dalam lembar kisahnya. Kini, ia melanjutkan garis tersebut dengan harapan akan kembali mampu mengikuti Angkara dan menjadi contoh bagi Raka.

jul 13 2020 ∞
jul 13 2020 +